Senja di Balik Ijazah

Senja di Balik Ijazah

Senin, 30 Juni 2025, Juni 30, 2025
“Senja di Balik Ijazah”

Di sebuah kamar sempit berukuran tiga kali tiga, Nara duduk terpaku di depan laptop tuanya. Matahari mulai turun, mengukir garis jingga di dinding tembok yang mengelupas. Di atas meja kecil yang reot, tergeletak sebuah ijazah bergelar “Sarjana Sosial” dalam bingkai murah. Debu tipis menutupi permukaannya, seolah waktu sudah tidak menganggapnya berarti lagi.

Tiga tahun lalu, Nara berdiri gagah di podium kampus, mengenakan toga dan tersenyum lebar untuk kamera. Ayah dan ibunya datang jauh-jauh dari desa, membawa harapan bahwa pendidikan adalah jembatan emas untuk hidup yang lebih layak. “Kamu anak pertama yang sarjana di keluarga kita,” kata ibunya sambil menangis haru. Hari itu, semua terlihat mungkin.

Tapi hidup tidak selalu mengikuti janji brosur kampus dan kata-kata motivasi dosen. Setelah lulus, Nara menjalani siklus pengiriman lamaran kerja yang tiada akhir. “Terima kasih atas lamaran Anda, saat ini kami memilih kandidat lain,” begitu bunyi email yang hampir menjadi bacaan harian.

Ia mencoba magang tak dibayar, berharap bisa naik kelas ke posisi tetap. Tapi bulan berganti bulan, dan yang didapat hanya janji kosong. “Sabar ya, Nara. Masih banyak yang lebih susah,” kata teman-teman seangkatannya yang juga sedang berjuang. Tapi di dalam hatinya, Nara lelah berpura-pura kuat.

Akhirnya, ia menerima pekerjaan sebagai admin freelance untuk sebuah toko online. Gajinya bahkan tak cukup untuk bayar kos sendiri, tapi itu lebih baik daripada tak ada apa-apa. Sementara itu, teman-teman satu angkatan mulai berpindah ke dunia lain: ada yang menikah, ada yang merantau ke luar negeri, ada yang sudah punya rumah dan mobil hasil usaha orang tuanya. Nara? Masih menunggu panggilan kerja yang cocok dengan gelar yang dulu ia perjuangkan mati-matian.

Setiap malam, ia menatap ijazah itu dan bertanya dalam hati: “Apa gunanya semua ini?” Gelar itu, yang dulu menjadi lambang kebanggaan keluarga, kini terasa seperti beban. Di dunia kerja yang semakin tak peduli pada kualitas, hanya orang yang punya koneksi, modal, atau keberuntungan yang bisa naik ke permukaan.

Pernah suatu hari, Nara pulang ke kampung halamannya. Di tengah sawah yang sunyi, ia berbincang dengan ayahnya yang kini sudah renta. Ayahnya tak paham rumitnya dunia kerja modern, tapi ia menepuk bahu Nara dan berkata, “Nak, ilmu itu tetap berharga, walau dunia tak selalu adil. Jangan biarkan hidup membuatmu lupa siapa dirimu.”

Ucapan itu menyentuh hati Nara. Ia sadar, bahwa walaupun kehidupannya belum seperti yang ia bayangkan, perjuangannya tidak sia-sia. Ia hanya belum menemukan tempatnya.

Malam itu, ia menulis sebuah catatan:
“Aku mungkin bukan orang yang berhasil menurut dunia, tapi aku adalah hasil dari mimpi yang pernah tak mungkin.”

Dan walau hari-hari ke depan masih terasa berat, ia memilih untuk tetap melangkah. Bukan demi gelar, bukan demi prestise, tapi demi dirinya sendiri—yang pernah bermimpi dan masih ingin percaya.
#ceritarakyat
#cerpen #picture #teks

TerPopuler