MARJINALISASI ORANG PAPUA
DALAM PERSPEKTIF EKONOMI DAN POLITIK
YANG MELANGGAR PRINSIP UNDANG-UNDANG OTONOMI
KHUSUS.
Marjinaisasi adalah sebuah proses sosial dimana suatu individu atau kelompok dipinggirkan, diabaikan dalam berbagai kehidupan yang meliputi aspek sosial, Kesehatan, ekonomi, politik dan budaya. Kelompok yang retan mengalami marjinalisasi sering kali tidak memiliki akses yang setara terhadap sumber daya, hak, atau kesempatan yang tersedia bagi mayoritas masyarakat. Marjinalisasi dapat terjadi dari berbagai faktor antara lain, diskriminasi yaitu perlakukan tidak adil berdasarkan ras, etnis, agama gender dan status sosial adapun juga marjinalisasi terjadi karena keterbatasan akses dalam menempuh pendidikan, pekerjaan, layanan kesehatan yang dapat mengakibatkan suatu penduduk menjadi terpinggirkan.
Papua adalah salah satu pulau terbesar di dunia yang memiliki jumlah penduduk yang cukup banyak, menurut data dari badan pusat statistik bahwa penduduk asli orang Papua (OAP) berjumlah 4,3 juta jiwa penduduk, meskipun data itu belum pasti pada hitungan dari badan pusat statistik, dari banyaknya jumlah penduduk yang ada di Papua, sering kali masyarakat asli atau orang papua sendiri mengalami begitu banyak tragedi atau gejolak yang membuat orang Papua termarnjinalisasi di tanah atau tempatnya sendiri.
PEMBAHASAN
1. Marjanilaisasi Orangg Papua dalam perspektif Ekonomi
Dalam perspektif ekonomi, marjinalisasi merujuk pada proses individu atau kelompok tertentu terpinggirkan dari akses akan sumber daya ekonomi seperti pekerjaan, pendidikan dan akses layanan kesehatan. Saat ini orang Papua benar-benar merasakan berbagai gejolak akan keterbatasan akses ekonomi untuk menadapatkan hak orang papua sepenuhnya. Marjinalisasi ekonomi pada orang Papua sangat nyata terjadi, orang papua semakin hari semakin hilang kesempatan untuk mengambil hak mereka kembali, hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya transmigrasi yang datang dari daerah lain untuk mencari nafkah dan kehidupan ditanah Papua, tentu hal ini semakin membuat orang Papua termarjinalisasi atau terpinggirkan, yang menjadi bukti nyata saat ini terlihat mama-mama Papua yang berjualan buah pinang dengan beralaskan terpal dan tikar, sedangkan para transmigran atau yang biasa disebut oleh orang papua sendiri adalah pendatang, mereka mendapatkan tempat yang layak untuk berdagang, Hal ini membuat orang papua tidak mempunyai alat untuk meningkatkan estimasi penjualan mereka. Marjinalisasi kepada orang papua tidak hanya sebatas mendapatkan tempat untuk berjualan, namun marjinalisasi yang paling ekstrim adalah ekonomi pembangunan salah satu program yang dilakukan pemerintah dengan dalil untuk mensejahterahkan orang papua melalui pemberian Undang-undang Otonomi khusus nomor 21 tahun 2001 BAB 1 pada butir B menyatakan bahwa Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua; tanpa campur tangan pemerintah pusat, namun apa yang tercantum dalam UU otsus tidak sesuai dengan implementasi di lapangan, mengapa demikian? bahwa pemerintah pusat tetap melanjutkan program ekonomi pembangunan mereka sesuai dengan kehendak mereka sendiri dan jelas melanggar UU otsus yang mereka berikan. Marjinalisasi orang Papua dapat dibuktikan dengan proyek startegi nasional (PSN) yang dimana pada November 2023, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menetapkan Proyek Strategis Nasional (PSN) yakni Kawasan Pengembangan Pangan dan Energi Merauke di Provinsi Papua Selatan, yang direncanakan luasnya lebih dari 2 (dua) juta hektar. Masyarakat adat terdampak dan terancam PSN Merauke yakni Suku Malind, Maklew, Khimaima dan Yei, pemilik tanah, dusun, rawa dan hutan adat, belum pernah diberikan informasi gagasan proyek. Mereka dikorbankan dan tidak pernah dilibatkan secara bermakna, bermusyawarah dan memberikan keputusan persetujuan bebas sejak awal atas proyek PSN Merauke. Dampak marjinalisasi terhadap orang Papua terkhususnya pada masyarakat adat adalah
Yang pertama Kehilangan akses atas sumber daya alam: Masyarakat adat atau orang Papua sendiri kehilangan akses atas sumber daya alam yang penting bagi kehidupan dan budaya mereka.
Kedua orang Papua kehilangan hak atas tanah adat karena tidak memiliki dokumen yang secara legal atas tanah orang papua yang di ambil demi kepentingan proyek strategi nasional
2. Marjinalisasi Orang Papua dalam Perspektif Politik
Marjinalisasi dalam politik pada orang Papua sudah berlangsung lama sejak pertama kali Papua bergabung kedalam bingkai Negara Indonesia melalui Pepera 1969 secara ilegal tanpa ada konsolidasi bersama orang Papua secara komprehensif dari vogelkoop (kepala burung) hingga samarai atau Merauke, terlihat jelas bahwa orang Papua kehilangan hak politik untuk menentukan nasib sendiri di kala itu, hanya 1026 orang Papua yag mengikuti penentuan nasib sendiri, sedangkan yang 800,000 ribu orang Papua lainnya tidak ikut dan hadir untuk memilih bergabumg bersama indonesia. Marjinalisasi dalam politik kepada orang Papua masih berlangsung sampai dengan hari ini, dimana terjadi pengambilan keputusan tentang pengelolahan sumber daya alam dan pembangunan di Papua yang masih di ambil ahli oleh pemerintah pusat tanpa melibatkan orang Papua secara memadai. Hal ini dapat dibuktikan dengan kasus terbaru terjadi di Papua. Suku Awyu dan suku Moi yang hutan adatnya dirusak, menggugat PT Indo Asiana Lestari (PT IAL), yang membuka lahan perkebunan 36.094 hektare di Biven Digoel, Papua Selatan dan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang membuka 18.160 hektare hutan di Sorong. Mengutip siaran pers organisasi non-pemerintah Greenpeace di laman resminya , 27 Mei 2024, sejumlah masyarakat adat suku Awyu dari Boven Digoel dan suku Moi dari Sorong sampai jauh-jauh datang ke Mahkamah Agung untuk menuntut pembatalan izin perusahaan penggarap sawit itu dan mengembalikan hutan adat mereka. Mengapa orang papua menuntut atau lebih tepatnya masyarakat adat? Karena tidak ada konsolidasi bersama mereka, dan hal ini juga sudah melanggar UU Otonomi Khusus yang dimana undang-undang ini memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat di Papua, termasuk hak atas tanah adat. Pasal 1 UU Otsus Papua menyebutkan bahwa otonomi khusus ini berlaku di Provinsi Papua dengan tujuan melindungi hak-hak orang asli Papua, adapun juga pemekeran provinsi yang membuat orang Papua termarjinalkan secara hak politik dikutip dari buku I Ngurah Suryawan yang berjudul siasat elite mencuri kuasa, undang-undang Nomor 45 tahun 1999 adalah UU yang dirumuskan pemerintah pusat untuk memekarkan Provinsi Papua yang terbagi menjadi dua yaitu Papua barat dan Papua tengah serta pemekaran Kabupaten Paniai, Mimika, Jayapura dan Kota Sorong pada 4 Oktober 1999
Tentu saja keluarnya UU itu menuai protes keras dari orang Papua, UU tersebut seolah memberikan peluang untuk memecah belah Tanah Papua. Untuk meredam gejolak tuntutan kemerdekaan serta untuk megesahkan dan memberlakukan kembali UU 45 tahun 1999 pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang Otonomi Khusus Provinsi Papua yang ditandatangani oleh Presiden Indonesia ketika itu, Megawati Soeakranoputri. Belum lama pelaksanaan UU otsus, pemerintah Indonesia secara manuver melalui Presidenya mengeluarrkan Inpres No 1 tahun 2003 untuk memberlakukan kembali UU No 45 tahun 1999 tentang pemekeran provinsi Papua Barat dan Papua tengah serta beberapa kabupaten lainya. Hal ini terlihat jelas bahwa pemerintah Indonesia mermarjinalisasikan hak politik orang Papua serta mengabaikan peranan Majelis Rayat (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan juga melanggar pasal 76 UU otsus yang bunyinya Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa yang akan datang.
Penutup dari semua ini adalah, pemerintah pusat harus mengakui rekognisi dan subdiaritas orang Papua dengan mengembalikan hak orang Papua baik dari segi ekonomi dan politik.
Penulis: Jerlyando George korwa
Mahasiswa: Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa ‘’APMD’’ Yogyakarta