“Mama, sa minta Maaf… Sa Salah”
Di sebuah rumah kecil di belakang Pasar Baru Sentani, mama duduk di kursi rotan tuanya. Jarum dan benang masih di tangan, mencoba menjahit baju sekolah yang sobek. Itu baju SMK Negeri 1 Sentani, milik anak sulungnya—Nela. Sambil menjahit, mama berpikir: “Tuhan, jaga anak sa di luar sana…”
Nela bukan anak nakal, tapi belakangan ini, dia sering berubah. Mama sudah berkali-kali nasihati:
“Nela, mama kerja keras jual di pasar pagi-pagi buta, supaya ko bisa sekolah baik-baik. Tolong jaga diri, jangan terlalu sering keluar malam… Pacaran nanti kalau su selesai sekolah.”
Tapi Nela selalu punya alasan. Kadang bilang kerja kelompok, kadang tidur di rumah teman. Tapi kenyataannya, dia sering keluar rumah hanya untuk ketemu kekasihnya. Ada kali pulang tengah malam, ada yang pulang subuh, bahkan pernah satu hari penuh tidak pulang.
Mama hanya bisa pasrah dan berdoa. Ia adalah janda yang ditinggal suaminya sejak anak-anaknya masih kecil. Sekarang, semua beban ada di pundaknya: membiayai Nela, juga dua adik Nela yang masih kecil—satu umur 5 tahun, satu lagi 10 tahun. Setiap hari mama menjual hasil kebun, bumbu dapur, dan barang kelontong di pasar untuk bisa kasih makan dan sekolah anak-anaknya.
Namun meski capek, marah, dan kecewa, mama sangat sayang pada Nela. Dia berharap Nela bisa sukses, jadi orang hebat, dan suatu hari bantu jaga adik-adiknya dan ringankan beban mama.
Sampai suatu sore, Nela pulang dengan wajah pucat. Ia masuk pelan, tanpa suara. Mama yang baru saja pulang dari pasar langsung tahu ada yang tidak beres.
“Nela, ko kenapa? Sa lihat muka ko lain begitu…”
Nela berdiri di depan mamanya, gemetar. Air mata jatuh duluan sebelum kata-kata keluar.
“Mama… sa ada salah besar. Sa su hamil.”
Mama kaget. Seluruh tubuhnya seperti kena petir. Jarum dan benang jatuh ke lantai. Mata mama membelalak, mulutnya terbuka… tapi tak keluar sepatah kata.
“Ko bilang apa?? Sa kerja mati-matian di pasar, tiap hari sa bangun jam 4 subuh, jualan, hanya supaya ko bisa sekolah dan punya masa depan! Tapi ko balas begitu?!”
Air mata mama jatuh satu-satu, hatinya hancur. Ia tidak hanya merasa gagal, tapi merasa dikhianati.
“Ko tahu kah, Nela? Sa punya harapan besar di ko! Sa pikir satu hari nanti ko bisa bantu mama, bantu adik-adikmu… Tapi sekarang semua itu hancur!”
Nela menangis keras. Ia tak bisa berkata apa-apa lagi. Hanya menunduk dan berkata pelan:
“Mama… sa minta maaf. Sa sadar sa salah. Sa kecewa sama diri sendiri. Tapi mohon… jang tinggalkan sa…
Mama berdiri. Ia lemas, tapi masih punya satu kekuatan: kasih seorang ibu.
“Sa marah, sa sakit hati. Tapi ko tetap sa pu anak anak. Nela jatuh, mama tetap bantu nela bangkit. Mama tidak akan biarkan nela jalan sendiri.
Mama akan selalu ada untuk nela 🖤
Mereka berpelukan. Tangis pecah di ruang sempit itu. Di antara harapan yang patah dan cinta yang belum habis.🫂
---Kesimpulan:
Untuk anak-anak perempuan:
Hargai pengorbanan orang tuamu. Jangan rusak masa depanmu hanya karena cinta sesaat. Dunia di luar sana tidak seindah yang ko pikir. Sayangi dirimu, dengar nasihat orang tua, dan ingat—harapan besar sedang ditaruh di pundakmu.
Untuk para orang tua:
Anak bisa jatuh, bisa salah. Tapi jangan pernah tinggalkan mereka. Tegur, didik, tapi juga peluk. Karena kasih orang tua adalah satu-satunya tempat aman saat dunia menjatuhkan mereka.
Untuk para laki-laki, kekasih dari anak gadis orang:
Jangan jadi perusak masa depan orang lain. Kalau ko benar laki-laki, ko harus jaga, bukan hancurkan. Jangan cuma kasih cinta, lalu tinggal setelah buat luka. Kalau ko belum siap bertanggung jawab, jangan ganggu anak orang. Di balik seorang gadis, ada ibu yang menangis dan keluarga yang percaya.
#fypfoto #storygadismelanesia #2012yanglalu 🖤