"Dong Datang Rampas, Kami Tinggal Nonton: Doa Hati Kecil, Ku Ingin Bebas dan Berdiri Sendiri."
1. Membuka Cerita.
Dulu tanah ini sepi, hanya ada tawa kami, suara angin di pepohonan, dan aliran sungai yang menari di lembah. Tapi sekarang? Ah, dong su datang rampas. Mereka datang bawa alat-alat besar, buka hutan kami, gali tanah-tanah leluhur, dan bikin bangunan-bangunan tinggi. Kami hanya bisa berdiri di pinggir jalan, nonton dari jauh, sambil bertanya: kapan kami bisa benar-benar merasa punya ini semua?
2. Kami Menunggu, Tapi Sampai Kapan?
Kalau malam tiba, langit Papua tetap indah. Tapi hati ini seakan terkurung, seperti burung dalam sangkar. Kami lihat pembangunan, tapi bukan untuk kami. Tanah, hutan, laut, dan segala isi alam ini, dulu jadi tempat kami hidup bebas. Sekarang semua milik mereka. Apa boleh? Kami tinggal nonton, berdoa dalam hati kecil: kapan nasib kami berubah?
3. Kehilangan Hak di Tanah Sendiri.
Orang-orang yang datang itu bilang mau bawa kemajuan. Katanya, dong bawa "masa depan" buat Papua. Tapi apa benar begitu? Jalan-jalan besar mereka bikin, tapi kami terpinggirkan. Di pasar, barang-barang mereka lebih laku dari hasil kebun kami. Dong janji pekerjaan, tapi cuma sedikit yang benar-benar dapat. Sepertinya, masa depan yang mereka maksud bukan buat kami.
4. Mimpi Kami Tak Sama.
Setiap kali mereka bicara soal pembangunan, hati kecil kami memberontak. Apa benar ini kemajuan kalau kami malah kehilangan hak? Kami tidak butuh bangunan tinggi atau tambang emas. Kami cuma mau hidup damai, berdiri tegak di atas kaki sendiri, dan bebas kelola tanah ini seperti dulu nenek moyang ajarkan.
5. Kami Tidak Ingin Jadi Penonton.
Terlalu lama kami hanya jadi penonton di cerita kami sendiri. Hati kecil terus berbisik: kapan kami benar-benar ikut berperan? Kami bukan orang asing di tanah ini. Kami anak gunung, anak laut, anak lembah. Kami tahu bagaimana menghormati alam, tahu cara hidup dari tanah tanpa merusaknya. Kami ingin suara kami didengar, bukan sekadar diterima lalu dilupakan.
6. Doa dan Harapan: Bebas dan Berdiri Sendiri.
Setiap malam, di dalam doa yang sunyi, kami meminta satu hal: kebebasan. Kami ingin berdiri sendiri, mengatur hidup tanpa campur tangan mereka yang hanya datang untuk ambil keuntungan. Kami tidak minta lebih, hanya hak kami sebagai pemilik tanah ini. Bukan hanya untuk kami, tapi juga buat anak cucu nanti, supaya mereka tahu arti kebebasan.
7. Menggali Kembali Jati Diri.
Kami belajar dari leluhur, bahwa kekuatan ada pada akar kami. Dong boleh datang dengan segala janji manis, tapi kami tahu siapa kami sebenarnya. Kami adalah masyarakat yang menghargai alam, budaya, dan satu sama lain. Mungkin mereka pikir kami lemah karena diam. Tapi hati kami kuat, dan doa kami tidak pernah putus.
8. Membangun Tanpa Kehilangan.
Kalau benar mereka mau bangun Papua, mestinya tidak dengan cara merampas. Kami juga ingin maju, tapi dengan cara kami sendiri. Pembangunan yang menghormati alam dan budaya, bukan menghancurkannya. Kami ingin berdiri sejajar, bukan tertinggal di belakang. Pembangunan tanpa kehilangan jati diri, itulah mimpi kami.
9. Waktunya Suara Kami Didengar.
Bukan cuma kami yang merasa begini. Di setiap sudut Papua, ada hati-hati kecil yang juga berharap kebebasan. Ini bukan soal menolak perubahan, tapi soal hak dan harga diri. Waktunya suara kami didengar, bukan sebagai keluhan, tapi sebagai panggilan untuk perubahan yang lebih adil.
10. Masa Depan Ada di Tangan Kami.
Dong boleh datang dan pergi, tapi kami akan tetap di sini. Kami tidak akan berhenti berharap dan berdoa. Kami percaya, suatu saat nanti, kami bisa benar-benar bebas dan berdiri sendiri di tanah kami sendiri. Sebab masa depan Papua bukan di tangan mereka, tapi di tangan kami, anak-anak negeri ini.
Penutup: Tulisan ini mengajak pembaca untuk merenungkan realitas yang dialami masyarakat Papua. Dengan harapan bahwa suatu saat, suara dan hak mereka tidak lagi diabaikan, tetapi dijadikan pijakan untuk membangun masa depan bersama, yang adil dan bermartabat.
#Yaku_Kemawayar ✍🏿