Aibon

Aibon

Rabu, 18 September 2024, September 18, 2024
MOHON SIMAK BAIK-BAIK 🌱🍃

Tentang Aibon🚶

Aibon, sebutan ini tak asing di kalangan masyarakat Papua. Merupakan stigma sosial yang dialamatkan kepada anak-anak usia remaja dan pemuda asal Papua. Sti gma tersebut terkandung pandangan negatif kepada  mereka, yang sudah lama terkonstruksi dalam struktur (pemikiran) sosial.  

Maka, imajinasi Aibon dalam pemikiran sosial-masyarakat adalah kelompok (kaum muda, remaja, anak-anak Papua) yang tak punya masa depan, hidup dalam lingkungan bebas tanpa terkontrol oleh arus energi positif. 

Mereka terbentuk satu kelompok sosial berdasarkan stigma, juga oleh karena realita marginalisasi, dan proses penjajahan yang membuat “berketergantungan” kepada Uang dan tawaran kolonial. Stigma sosial sendiri terbangun atas basis materinya tersediah. Misalkan perdagangan miras sangat bebas di Papua, tetapi tak ada aktivitas publik yang dijamin oleh Pemerintah untuk kelolah energi positifnya mereka, bahkan semua lapangan (sarana-prasarana) penunjang untuk mengembangkan SDM (selain sekolah Formal) tak tersediah. Lalu hantu yang paling besar adalah ruang demokrasi yang sangat tertutup, orang berdiskusi tentang realita saja tak boleh, atau nongkrong berdua di pinggir-pinggir kota saja tak boleh, kalau miras boleh. 

Itu realitasnya. Lalu stigma sosial juga membentuk gaya hidup mereka: suka miras, gimbal, baju copang-camping, mereka jalan tanpa beralas-kaki (kaki kosong) dalam kelompok-kelompok. 

Kelompok ini sudah lama hidup, bahkan saya masih duduk di bangku  Sekolah Dasar hingga SD (2009), pernah menjadi bagian dari kelompok ini. 

Tapi banyak kalangan yang menyimpulkan, dalam stigma yang sudah terbangun, mereka ini merupakan penyakit sosial, kelompok yang berada di titik kehilangan arah kehidupan. Tentu tidak! “dong bilang, barang su terlanjut. Sa hitam, keriting, sa aibon, sa bahagia.” Setiap kalangan punya kesimpulan tersendiri, termasuk dari mereka sendiri, tentang kebahagiaan. 

Kaum akademis dan intelektual menyimpulkan bahwa generasi yang punya masa depan itu iyalah mereka yang gemar membaca buku, pergi ke sekolah, gereja, dengar-dengaran orang tua, dan tak keluar malam. Tentu berbeda pandang juga dari kaum religi, pemerintah, dan seterusnya. Sehingga setiap kelompok mengalirkan solidaritas kepada Aibon, cara dan bentuknya datang dari masing-masing sudut pandang. Mulai dari bantuan sosial, seminar, kelompok peduli anak-anak aibon, penyediaan pondok penampung, dan sebagainya. 

Tetapi, dalam isi kebahagiaan yang mereka peroleh, hal itu datang dari gaya hidup mereka. Mereka berada di jalan-jalan, di emperan tokoh, berkelompok duduk bandar, baku pukul, baku menangis, baku peluk, baku cari, dan seterusnya, dan seterusnya. 

Jauh dari itu, penyebutan Aibon sudah menjadi bagian dari hidup dalam penemuan jatih diri anak-anak mudah Papua diatas tahun 2000an. Aibon menjadi modal awal kesadaran keterhinaan oleh stigma, dan terus mencari akarnya untuk sebuah jalan keluar. 

Aibon, stigma sosial yang dibangun oleh kekuasaan untuk memperburuk mental “kepapuaan” lalu, kini, Aibon menjadi simbol jatih diri dalam kerangka bangun diri dari keterpurukan.

Akan kah Aibon menjadi semangat perlawanan pemuda dan rakyat Papua terhadap sumber produk stigma: Penguasa?

Selamat malam aibon

- Jhon Gobay

TerPopuler